Sej
arah di masa dinasti abbasiyah
arah di masa dinasti abbasiyah
Disusun Oleh :
Rasyid Abdullah NIS :
101107016 Guru : Syarief Hidayatullah
SMPIT
INSAN RABBANI Bekasi Barat Tahun Ajaran
2012M/2013M
Kata
Pengantar
Segala puji bagi Allah yang masih
memberikan kesehatan dan kesempatannya kepada kita semua, terutama kepada
penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan masalah ini.
Berikut ini, penulis persembahkan
sebuah makalah (karya tulis) yang berjudul “PERJALANAN DAKWAH RASUL DI MEKKAH”.
Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua, terutama
bagi penulis sendiri.
Kepada pembaca yang budiman, jika
terdapat kekurangan atau kekeliruan
dalam makalah ini, penulis mohon
maaf, karna penulis sendiri dalam tahap belajar.
Dengan demikian, tak lupa penulis
ucapkan terimakasih, kepada para
pembaca.
Semoga Allah memberkahi makalah ini
sehingga benar-benar bermanfaat.
Bekasi,
April 2012
Rasyid Abdullah
Daftar Isi
Cover ……………………………………………………………………………… 1
Kata Pengantar ……………………………………………………………………. 2 Daftar
Isi ………………………………………………………………………….. 3 Pendahuluan
………………………………………………………………………. 4
Bab 1 | Sejarah Bani abbasiyah
………………………………………….. 5 A.
KekhalifahanAbbasiyah
…………………...................................
5 B. Masa keemasan
Bani Abbasiyah. ………………………………. 5 C. Pengaruh Mamluk ………………………………………………. 11 D. Pengaruh Bani Buwaih ………………………………………… 11 E. Pengaruh Bani Seljuk ……………………………………………
12 F. Kemunduran Bani Abbasiyah
…………………………………... 12
Bab 2 | Ilmu Pengetahuan Pada Masa
abbasiyah …………………………. 13
Bab 3 | Tokoh Pada Masa Dinasti Abbasiyah
…………………………….. 17
Bab 4 | Kesimpulan+Saran ………………………………………………... 20
Pendahuluan
Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit
dari Abbas
menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga
Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin
memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan
Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang
kekuasaan kekhalifahan
selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam
dan menyuburkan ilmu pengetahuan
dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940
kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki
(dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan
mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap
bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam.
Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak
dapat disaingi. Namun kemudian, Said
bin Husain, seorang muslim Syiah
dari dinasti Fatimiyyah mengaku
dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai
Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di
daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya
menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya.
Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir
dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah
berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya
menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah
kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus
memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali
gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali
pada tahun 1031.
Bab
1 (Sejarah
Bani abbasiyah)
A. Kekhalifahan Abbasiyah
Kekhalifahan
Abbasiyah (Arab: الخلافة العباسية, al-khilāfah al-‘abbāsīyyah)
atau Bani Abbasiyah (Arab: العباسيون, al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan
kedua Islam yang
berkuasa di Baghdad
(sekarang ibu kota Irak).
Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat
pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan
Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani
Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia.
Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang
termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu
mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan
ibukota dari Damaskus
ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah
naiknya bangsa Turki
yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk,
dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran,
kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti
setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah
yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah.
Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang
dipimpin Hulagu
Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari
pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat
ini banyak bertempat tinggal di timur laut
Tikrit, Iraq sekarang.
B. Masa
keemasan Bani Abbasiyah.
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah
sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah
al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah.
Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
- Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa
keemasannya. Secara politis, para khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama
sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.
Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani
Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas,
pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya
digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi
lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan
juga Syi'ah.
Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan
baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali,
keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah
sebelumnya di Syria
dan Mesir dibunuh
karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim
al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim
al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing
baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah,
dekat Kufah.
Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri
itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat
bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan
dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota
yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya,
di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang
pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai
koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak,
berasal dari Balkh,
Persia. Dia juga
membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara
disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang
sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan
tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa
al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para
direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada
khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di
daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut
benteng-benteng di Asia,
kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke
utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan
mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan
kaisar Constantine V dan selama
gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga
berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia,
Turki di bagian
lain Oxus dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian
khalifah kembali berubah. Dia berkata:
“
|
Innama anii Sulthan Allah fi
ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
|
”
|
Dengan demikian, konsep khilafah
dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah,
bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa'
al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah
memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar tahta
ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan
daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan
al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah
sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat
dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang
transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah
mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809
M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833
M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial,
dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada
masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam
menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid,
dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan
buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah
dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa
laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah,
salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah,
pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan
yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan
ilmu pengetahuan.
Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842
M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki
untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem
ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang
sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit
profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi
sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan
politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri
maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah
dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq
di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran
pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah
pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula
ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
- Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
- Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
- Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas,
puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa
pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari
kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai
sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam,
lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan
terdiri dari dua tingkat:
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian
berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan
dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas,
karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca,
menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan
terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat
ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik
sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu
pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua
hal, yaitu:
- Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
- Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang
sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama.
Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama,
tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil
interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi
al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat
dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang
berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa
tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi
oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga
terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan
umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat
hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah
(700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang
terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah
kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah
mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih
banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus
pelanjutnya, Abu
Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M)
banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh
mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820
M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal
Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat
akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk
berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka
lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam
dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Disamping empat
pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para
mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya
pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab
itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada
pada masa Bani Umayyah,
seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi
perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan
Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna
baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah
terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa
pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam.
Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam
(185-221 H/801-835M). Asy'ariyah,
aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan
al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga
banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari
sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang
sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa
Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan
transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat
dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan
sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari
sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani,
yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus,
menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard
Cremona dan Johannes
Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama
yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama
yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan
berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga
seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran
darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb
yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di
Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal
sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang
dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang
mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa
logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak
dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga
mahir dalam bidang astronomi. Dialah
yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar
berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang
sejarah terkenal nama al-Mas'udi.
Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara
karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku
tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap
filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang
buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu
Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam
bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini,
dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan.
Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di
bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman
ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam
menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan
Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada
masyarakat Kristen Eropa.
Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles
terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu
geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya
diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan
kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam
pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa
ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan
kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan.
Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas
periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga
mengalami masa kemunduran. Wallahul Musta’an.
C. Pengaruh Mamluk
Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang
pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak
yang disebut Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini
didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak
diisi oleh bangsa Berber dari Afrika Utara dan Slav
dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab
sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan
Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya
menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal dengan Bani
Mamalik berhasil berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut
kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah yang pada
masa itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani Abbas, hal ini
disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam
memimpin kerajaan. Bani Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di Mesir
dan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Cairo
setelah berbagai serangan dari tentara tartar dan kehancuran Baghdad sendiri setelah serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Walaupun berkuasa Bani Mamalik
tetap menyatakan diri berada di bawah kekuasaan (simbolik) kekhalifahan, dimana
khalifah Abbasiyyah tetap sebagai kepala negara.
D. Pengaruh Bani Buwaih
Faktor lain yang menyebabkan peran
politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan,
dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah
dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat
lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari
pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara
faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan
kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada
pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada
pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas,
perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi,
pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya,
meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah
dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan
membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena
khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa
diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di
daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil
yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut.
Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan
merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik
mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua,
pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah
pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.
E. Pengaruh Bani Seljuk
Setelah
jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro
(Seljuk Agung), posisi dan kedudukan khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik,
paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan bahkan mereka terus
menjaga keutuhan dan keamanan untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan
manhaj Sunni yang dianut oleh mereka.
F. Kemunduran
Faktor-faktor penting yang
menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah
memerdekakan diri, adalah:
- Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
- Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
- Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Bab
2 (Ilmu Pengetahuan Pada Masa abbasiyah)
Pada
masa kejayaan Islam ilmu pengetahuan dan teknologi sudah hidup berdampingan,
inilah yang membuat begitu maju daripada bangsa barat pada saat itu yang sangat
anti terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan, sehingga pada saat itu disebut
sebagai jaman kegelapan oleh orang-orang Eropa. Pada saat itu filusuf atau
kelompok pemikir sangat berkembang yang ini lah mendorong perkembangan Ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal ini berkembang karena pada saat itu kekuasaana
islam sangat luas sehingga banyak pemikir-pemikiran dan ide-ide dari bangsa
lain termasuk orang Hindu dari India, Budha dari Asia Tengah, Persia dan
Yunani. Roma nyaris mati pada saat itu, dan Konstatintinopel telah berubah
menjadi gurun intelektual yang biasa-biasa saja, sehinga pemikir paling orisinal
yang masih menulis dalam bahasa Yunani berkerumun di Alexandria, yagn telah
jatuh ke tangan Islam. Alexandria memiliki perpustakaan yang hebat dan berbagai
akedemi, menjadikannya sebagai ibukota intelektual dunia GrekoRomawi. Di
Alexandria, umat Islam menemukan karya-karya Plotinus, seorang filusuf yang
pernah mengatakan bahwa segala sesuatu di alama semesta ini saling terhubung
dari sebuah organisme tunggal, dan semuanya menyatu ke dalam Satu yang mistis,
yang darinya segala sesuatu berasal dan yang kepadanya segala sesuatu kembali.
Dalam
konsep tentang yang Satu ini, kaum muslim menemukan gema yang mendebarkan bagi
penekanan apokaliptik Nabi Muhammad tentang keesaan Allah (tauhid). Terlebih
lagi, ketika umat Islam meninjau pemikiran Plotinus, nemukan bahwa dia telah
membangun sistem dengan logika yang ketat dari sejumlah kecil prinsip, sehingga
membangkitkan harapan bahwa wahyu Islam dapat dibuktikan dengan logika. Eksplorasi
lebih lanjut mengungkapkan bahwa Plotinus dan rekan-rekannya hanyalah eksponen
terkakhir dari garis pemikiran yang bermula dari filusuf Athena yang jauh lebih
besar ribuan tahun silam bernama Plato. Dan dari Plato, kamu muslim selanjutnya
nemukan seluruh perbendaharaan pemikiran Yunani, dari masa pra-Sokrates hingga
Aristoteles dan seterusnya.
Bangsawan Bagi Abbasiyah
pada saat itu menaruh minat besar atas semua ide ini. Siapa pun yang bisa
menerjemahkan sebuah buku dari bahasa Yunani, Sangsekerta, Cina dan Persia ke
dalam bahasa Arab bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Penerjemah
professional berbondong-bondong ke Bahgdad. Mereka mengisi seluruh perpustakaan
di ibukota dan kota-kota besar lainnya dengan teks klasik yang telah
diterjamahkan dari bahasa lain.
Kaum muslim adalah
intelektual pertama yang melakukan perbandingan antara, matematika Yunani dan
India, atau kedokteran Yunani dan India, atau kosmologi Persia dan Cina, atau
metafisika dari berbagai kebudayaan. Mereka mulai menyelidiki bagaimana ide-ide
kuno ini cocok dengan satu sama lain dan dengan wahyu lslam, bagaimana
spritualitas terkait dengan nalar, dan bagaimana langit dan bumi ditarik dalam
ke dalam satu skema yang menjelaskan seluruh alam semesta.
Plato
telah menggambarkan dunia material sebagai maya (ilusi) dari dunia “nyata” yang
terdiri atas “bentuk-bentuk” yang tak berubah dan kekal, dengan demikian,
setiap kursi sebenarnya tak lebih dari salinan yang kurang sempurna dari kursi
“ideal” yang ada hanya di alam universal. Mengikuti Plato, filusuf muslim
menyatakan bahwa setiap manusia adalaha campuran nyata dan ilusi. Sebelum kelahiran,
jelas jiwa tinggal di wilayah universal, dalam kehidupan jiwa menjadi berkaitan
dengan tubuh yang terdiri dari materi, dan pada saat kematian keduanya
terpisah, tubuh kembali ke dunia semua materi sementara jiwa kembali kepada
Allah.
Meski sangat setia pada Plato, filsuf
muslim juga memilki kekaguman besar pada Aristoteles, pada logikanya,
teknik-teknik klasifikasinya, dan pemahamannya yang kuat tentang
pertikularitas. Mengikuti Aristoteles, filusuf muslim mengategorikan dan
mengklarifikasi dengan logika obsesif. Filusuf Al-Kindi menggambarkan alam
semesta material menurut lima prinsip pengatur: materi, bentuk, gerak, waktu
dan ruang. Dia menganalisis ke sub kategori, membagi gerak, misalnya, ke dalam
enama jenis: lahir, rusak, bertambah, berkurang, berubah sifat, dan berubah
posisi. Dia terus melanjutkan ini, bertekah membelah semua realitas menjadi
bagian-bagian yang terpisah yang dapat dipahami akal. Filusuf Al-Faribi secara
khusus merekomendasikan agar para murid memulai dengan mempelajari alam,
beralih ke studi tentang logika, kemudian akhirnya berlanjut ke yang paling
abstrak dari semuat displin ilmu, matematika.
Orang Yunani menemukan geometri, ahli matematika India muncul dengan ide cemerlang memperlakukan nol sebagai angka, orang Babel menemukan gagasan tentang nilai tempat, dan umat Islam mensistematisasi semua gagasan ini, menambahkan beberapa gagasan dari mereka sendiri, untuk menciptakan aljabar dan bahkan meletekkan dasar-dasar matematika modern.
Di sisi lain, minat mereka mengarahkan para filusuf kepada hal-hal praktis. Dengan melakukan kompilasi, katalogisasi, dan refrensi silang penemuan-penemuan medis dari berbagai negeri, pemikir seperti Ibnu Sina mencapai pemahaman yang hampir modern tentang penyakit dan perawatan medis serta anatomi, sirkulasi darah sudah mereka ketehui, demikian pula fungsi hati dan sebagian bsar organ utama lainnya. Dunia muslim tak lama kemudian memiliki rumah sakit terbaik di dunia yang perna ada pada saat itu atau untuk selama berabad-abad yang akan dating, Baghdad sendiri memiliki ratusan fasilitas semacam ini. Para filosof muslim era Abbasiyah ini juga meletakkan dasar-dasar kimia sebagai suatu displin dan menulis risalah-risalah tentang geologi, optik, botani, dan hampir semua bidang studi yang kini dikenal sebagai sains. Mereka tidak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Seperti di Barat, dimana ilmu pengetahuan sejak lama disebut sebagai filsafat alam, mereka melihat tidak ada perlunya mengkelompokkan beberapa spekulasi mereka ke dalam kategori yang berbeda dan menyebutnya dengan nama yang baru, namun sejak awal mereka mengakui kuantifikasi sebagai alat untuk mempelajari alam, yang merupakan salah satu pilar utama ilmu pengetahuan sebagai sebuah bidang yang mandiri. Mereka juga mengandalkan pengamatan untuk dasar teori-teori, pilar kedua ilmu pengetahuan. Mereka tidak pernah mengartikulasikan metode ilmiah gagasan tentang pembangunan pengetahuan secara bertahap dengan merumuskan hipotesis dan kemudian merancang percobaan untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan. Andai mereka telah menjebati celah itu, ilmu pengetahuan seperti yang kita ketahui mungkin telah berkecambah di dunia muslim zaman Abbasiyah, tujuh abad sebelum kelahirannya di Eropa Barat.
Tapi itu tidak terjadi, karena dua alasan, yang salah satunya melibatkan interkasi antara sains dan teologi. Pada tahap awalnya, ilmu pengetahuan secara inheren kesulitan untuk memisahkan diri dari teologi. Masing-masing tampakna memiliki implikasi bagi yang lain, setidaknya bagi para pratiksinya. Ketika Galileo mempromosikan teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, otoritas agama mengadilinya karena menganggap bid’ah. Bahkan saat ini di Barat, kaum konservatif Kristen mempertentangkan narasi alkitabiah tentang penciptaan dengan teori evolusi, seolah-olah keduanya merupakan penjelasan yang saling bersaing tentang teka-teki yang sama. Sains menantang agama kernta bersikeras pada kecukupan metodenya untuk mencari kebenaran, eksperimentasi dan nalar tanpa bantuan wahyu. Di Barat, bagi kebanyakan orang, kedua bidang itu telah mencapai suatu kompromi dengan menyetujui untuk membedakan bidang penyelidikan mereka, prinsi alam dalah milik ilmu pengetahuan, sedangkan moral dan etika merupakan wilayah agama dan filsafat. Di Irak pada abak ke-9 dan ke-10, tidak terdapat sains murni yang bisa dipisahkan dari agama. Para filusuf melahirkannya tanpa cukup menyadarinya. Mereka menganggap agama sebagai bidang penlitian mereka dan teologi sebagai kekhususan intelektual mereka, mereka sedang dalam pencarian untuk memahami hakikat terdalam realitas. Sehingga, apapun yang mereka temukan tentang botani, optik atau penyakit adalah produk sampingan dari pencarian inti. Sehingga mereka tidak ragu-ragu untuk mengajukan pertanyaan “jika seseorang melakukan dosa besar, apakah disebut nonmuslim atau hanya seorang muslim yang buruk?”. Yang menurut orang modern itu merupakan diluar dari kewenangan seorang ahli kimia atau dokter. Pada dunia muslim, sebagai sandaran hokum, para ulama membagi dunia antara masyarakat orang beriman dan tidak beriman, karenanya penting untuk mengetahui apakah orang tertentu berada pada yang ini atau itu. Para filusuf yang mengangani pertanyaan ini mengtakan umat Islam yang berdosa besar mungkin masuk termasuk golongan ketiga. Dari konsep ini berkembang sebuah mazhab teologi sendiri yang disebut Muktazilah, bahasa Arab untuk “orang yang memisahkan diri”, disebut demikan karena mereak telah memisahkan diri dari arus utama keagamaan. Seiring dengan waktu para teolog ini merumuskan seperangkat ajaran agama yang menarik bagi para filusuf. Filusuf ilmuwan umumnya mengafiliasi diri mereka dengan mazhab Muktazilah, tidak diragukan lagi karena itu memvalidasi cara penyelidikan mereka. Beberapa di antara filusuf ini bahkan meletakan nalar lebih tinggi daripada wahyu. Filusuf Abu Bakr Al-Razi secara terang-terangan menyatakan bahwa mukjizat yang diberikan nabi-nabi pada masa lalu itu hanya legenda dan bahwa surga dan neraka adalah kategori-kategori mental, bukan realitas fisik. Hal ini lah menempatkan para ulama dan filusuf saling berselisih. Karena ajaran para filusuf secara implisit membuat ajaran para ulama tidak relevan. Ulama berada dalam posisi yang baik untuk melawan tantangan seperti ini. Mereka mengendalikan hukum, pendidikan kaum muda, lembaga-lembaga sosial, dan yang paling penting mereka memiliki kesetiaan massa. Tapi Muktazilah juag punya kelebihan, dukungan Istana, keluarga kerjaan, para bangsawan dan pejabat pemerintah. Bahkan khalifah Abbasiyah ketujuh mejadikan teologi Muktazilah sebagai doktrin resmi negeri itu. Para hakim harus melewati tes filsafat dan calon administrator harus bersumpah setia kepada nalar, untuk memenuhi syarat sebuah jabatan.
Lalu, raksasa intelektual sejarah dunia lahir, dari orang tua berbahasa Persia di Provinsi Khorasan. Namanya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Pada awal usia dua puluhan, Ghazali telah memperoleh pengakuan sebagai ulama terkemuka zamannya. Pada masa hidupnya, beberapa ulama telah mengembangkan teologi untuk bersaing dengan kaum Muktazilah, yang disebut Mazha Asy’ariyah. Bersikeras bahwa iman tidak akan bisa didasarkan pada akal, hanya pada wahyu. Fungsi akal hanya mendukung wahyu. Para teolog Asy’ariyah terus-menerus menentang pemuka Muktazilah dalam debat public, tetapi Muktazilah tahu trik orang Yunani memenangkan argument, seperti logika dan retorika, sehingga mereka terus saja membuat Asy’ariyah tampak bingung. Ghazali datang untuk menyelamatkan meraka. Cara untuk mengalahkan para filusuf, ia menyimpulkan, adalah dengan bergabung bersama mereka lalu mengunakan trik-trik mereka untuk melawan mereka. Dia terjun ke dalam studi tentang zaman antik, menguasai logika, menghirup risalah-risalah bahasa Yunani. Kemudia menulis buku tentang filsafat Yunani yang bernama Maqashid al-Falashifah (Maksud Para Filsuf). Buku itu terutama tentang Aristoteles. Dalam kata pengantar, dia mengatakan orang Yunani itu keliru dan dia akan membuktikan itu, tetapi pertama-tama dia menjelaskan apa filsafat Yunani itu sebenarnya gara pembaca akan tahu apa yang ia sangkal ketika membaca buku selanjutnya. Pemikiran Ghazali yang terbuka memang menimbulkan kekaguman orang. Dia tidak membuat boneka jerami untuk dirobohkannya sendiri. Urainnya tentang Aristoteles begitu jernih, sangat terpelajar, bahkan ahli Aristoteles yang membaca bukunya akan lebih mengerti Aristoteles.
Orang Yunani menemukan geometri, ahli matematika India muncul dengan ide cemerlang memperlakukan nol sebagai angka, orang Babel menemukan gagasan tentang nilai tempat, dan umat Islam mensistematisasi semua gagasan ini, menambahkan beberapa gagasan dari mereka sendiri, untuk menciptakan aljabar dan bahkan meletekkan dasar-dasar matematika modern.
Di sisi lain, minat mereka mengarahkan para filusuf kepada hal-hal praktis. Dengan melakukan kompilasi, katalogisasi, dan refrensi silang penemuan-penemuan medis dari berbagai negeri, pemikir seperti Ibnu Sina mencapai pemahaman yang hampir modern tentang penyakit dan perawatan medis serta anatomi, sirkulasi darah sudah mereka ketehui, demikian pula fungsi hati dan sebagian bsar organ utama lainnya. Dunia muslim tak lama kemudian memiliki rumah sakit terbaik di dunia yang perna ada pada saat itu atau untuk selama berabad-abad yang akan dating, Baghdad sendiri memiliki ratusan fasilitas semacam ini. Para filosof muslim era Abbasiyah ini juga meletakkan dasar-dasar kimia sebagai suatu displin dan menulis risalah-risalah tentang geologi, optik, botani, dan hampir semua bidang studi yang kini dikenal sebagai sains. Mereka tidak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Seperti di Barat, dimana ilmu pengetahuan sejak lama disebut sebagai filsafat alam, mereka melihat tidak ada perlunya mengkelompokkan beberapa spekulasi mereka ke dalam kategori yang berbeda dan menyebutnya dengan nama yang baru, namun sejak awal mereka mengakui kuantifikasi sebagai alat untuk mempelajari alam, yang merupakan salah satu pilar utama ilmu pengetahuan sebagai sebuah bidang yang mandiri. Mereka juga mengandalkan pengamatan untuk dasar teori-teori, pilar kedua ilmu pengetahuan. Mereka tidak pernah mengartikulasikan metode ilmiah gagasan tentang pembangunan pengetahuan secara bertahap dengan merumuskan hipotesis dan kemudian merancang percobaan untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan. Andai mereka telah menjebati celah itu, ilmu pengetahuan seperti yang kita ketahui mungkin telah berkecambah di dunia muslim zaman Abbasiyah, tujuh abad sebelum kelahirannya di Eropa Barat.
Tapi itu tidak terjadi, karena dua alasan, yang salah satunya melibatkan interkasi antara sains dan teologi. Pada tahap awalnya, ilmu pengetahuan secara inheren kesulitan untuk memisahkan diri dari teologi. Masing-masing tampakna memiliki implikasi bagi yang lain, setidaknya bagi para pratiksinya. Ketika Galileo mempromosikan teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, otoritas agama mengadilinya karena menganggap bid’ah. Bahkan saat ini di Barat, kaum konservatif Kristen mempertentangkan narasi alkitabiah tentang penciptaan dengan teori evolusi, seolah-olah keduanya merupakan penjelasan yang saling bersaing tentang teka-teki yang sama. Sains menantang agama kernta bersikeras pada kecukupan metodenya untuk mencari kebenaran, eksperimentasi dan nalar tanpa bantuan wahyu. Di Barat, bagi kebanyakan orang, kedua bidang itu telah mencapai suatu kompromi dengan menyetujui untuk membedakan bidang penyelidikan mereka, prinsi alam dalah milik ilmu pengetahuan, sedangkan moral dan etika merupakan wilayah agama dan filsafat. Di Irak pada abak ke-9 dan ke-10, tidak terdapat sains murni yang bisa dipisahkan dari agama. Para filusuf melahirkannya tanpa cukup menyadarinya. Mereka menganggap agama sebagai bidang penlitian mereka dan teologi sebagai kekhususan intelektual mereka, mereka sedang dalam pencarian untuk memahami hakikat terdalam realitas. Sehingga, apapun yang mereka temukan tentang botani, optik atau penyakit adalah produk sampingan dari pencarian inti. Sehingga mereka tidak ragu-ragu untuk mengajukan pertanyaan “jika seseorang melakukan dosa besar, apakah disebut nonmuslim atau hanya seorang muslim yang buruk?”. Yang menurut orang modern itu merupakan diluar dari kewenangan seorang ahli kimia atau dokter. Pada dunia muslim, sebagai sandaran hokum, para ulama membagi dunia antara masyarakat orang beriman dan tidak beriman, karenanya penting untuk mengetahui apakah orang tertentu berada pada yang ini atau itu. Para filusuf yang mengangani pertanyaan ini mengtakan umat Islam yang berdosa besar mungkin masuk termasuk golongan ketiga. Dari konsep ini berkembang sebuah mazhab teologi sendiri yang disebut Muktazilah, bahasa Arab untuk “orang yang memisahkan diri”, disebut demikan karena mereak telah memisahkan diri dari arus utama keagamaan. Seiring dengan waktu para teolog ini merumuskan seperangkat ajaran agama yang menarik bagi para filusuf. Filusuf ilmuwan umumnya mengafiliasi diri mereka dengan mazhab Muktazilah, tidak diragukan lagi karena itu memvalidasi cara penyelidikan mereka. Beberapa di antara filusuf ini bahkan meletakan nalar lebih tinggi daripada wahyu. Filusuf Abu Bakr Al-Razi secara terang-terangan menyatakan bahwa mukjizat yang diberikan nabi-nabi pada masa lalu itu hanya legenda dan bahwa surga dan neraka adalah kategori-kategori mental, bukan realitas fisik. Hal ini lah menempatkan para ulama dan filusuf saling berselisih. Karena ajaran para filusuf secara implisit membuat ajaran para ulama tidak relevan. Ulama berada dalam posisi yang baik untuk melawan tantangan seperti ini. Mereka mengendalikan hukum, pendidikan kaum muda, lembaga-lembaga sosial, dan yang paling penting mereka memiliki kesetiaan massa. Tapi Muktazilah juag punya kelebihan, dukungan Istana, keluarga kerjaan, para bangsawan dan pejabat pemerintah. Bahkan khalifah Abbasiyah ketujuh mejadikan teologi Muktazilah sebagai doktrin resmi negeri itu. Para hakim harus melewati tes filsafat dan calon administrator harus bersumpah setia kepada nalar, untuk memenuhi syarat sebuah jabatan.
Lalu, raksasa intelektual sejarah dunia lahir, dari orang tua berbahasa Persia di Provinsi Khorasan. Namanya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali. Pada awal usia dua puluhan, Ghazali telah memperoleh pengakuan sebagai ulama terkemuka zamannya. Pada masa hidupnya, beberapa ulama telah mengembangkan teologi untuk bersaing dengan kaum Muktazilah, yang disebut Mazha Asy’ariyah. Bersikeras bahwa iman tidak akan bisa didasarkan pada akal, hanya pada wahyu. Fungsi akal hanya mendukung wahyu. Para teolog Asy’ariyah terus-menerus menentang pemuka Muktazilah dalam debat public, tetapi Muktazilah tahu trik orang Yunani memenangkan argument, seperti logika dan retorika, sehingga mereka terus saja membuat Asy’ariyah tampak bingung. Ghazali datang untuk menyelamatkan meraka. Cara untuk mengalahkan para filusuf, ia menyimpulkan, adalah dengan bergabung bersama mereka lalu mengunakan trik-trik mereka untuk melawan mereka. Dia terjun ke dalam studi tentang zaman antik, menguasai logika, menghirup risalah-risalah bahasa Yunani. Kemudia menulis buku tentang filsafat Yunani yang bernama Maqashid al-Falashifah (Maksud Para Filsuf). Buku itu terutama tentang Aristoteles. Dalam kata pengantar, dia mengatakan orang Yunani itu keliru dan dia akan membuktikan itu, tetapi pertama-tama dia menjelaskan apa filsafat Yunani itu sebenarnya gara pembaca akan tahu apa yang ia sangkal ketika membaca buku selanjutnya. Pemikiran Ghazali yang terbuka memang menimbulkan kekaguman orang. Dia tidak membuat boneka jerami untuk dirobohkannya sendiri. Urainnya tentang Aristoteles begitu jernih, sangat terpelajar, bahkan ahli Aristoteles yang membaca bukunya akan lebih mengerti Aristoteles.
Buku Ghazali sampai ke Andalusia darn
dari sana ke Eropa, disana buku itu memukau beberapa orang yang bisa
membacanya. Orang Eropa Barat telah cukup banyak melupakan pemikiran Yunani
klasik sejak kejatuhan Roma. Bagi kebanyakan orang, lewat buku inilah mereka
pertama kali mengenal Aristoteles. Namun, pada suatu waktu dalam perjalanannya,
kata pengantar Ghazali dilepas dari buku ini, sehingga orang Eropa tidak tahu
bahwa Ghazali menentang Aristoteles. Sebagian bahkan berpikir dia adalah
Aristoteles, yang menulis dengan nama samaran. Singkatnya, Maksud para Filsuf
begitu mengesankan bagi orang Eropa sehingga bagi mereka Aristoteles meraih
aura otoritas yang di hormati, dan para filsuf Kristen terkemudian mencurahkan
banyak energi untuk mendamaikan gereja dengan pemikiran Aristoteles.
Ghazali telah menulis lanjutan dari Maksud
para Filsuf, buku penting yang kedua yang berjudul Tahafut al-Falasifah
(Ketidaklogisan para Filsuf). Pada kitab tersebut, Ghzali mengindetifikasi dua
puluh premis yang menjadi sandaran filsafat Yunani, kemudian menggunakan logika
silogisme untuk membongkar masing-masingnya. Salah satu serangannya terhadap
gagasan tentang hubungan sebab akibat antara fenomena material. Hubungan
seperti itu tidak pernah ada, menurut Ghazali, kita berpikir api menyebabkan
kapas terbakar, karena api selalu ada saat kapas terbakar. Kita keliru
menyamakan kesinambungan sebagai kausalitas. Sebeneranya, kata Ghazali, Allah
lah yang menyebabkan dan satu-satunya dari segala sesuatu. Api kebetulan berada
disana. Jika kami membuat pemikirin Ghazali terlihat konyol pada bahasan ini,
itu hanya kami tidak cukup berpikiran terbuka seperti dirinya terhadap
Aristoteles. Argumen yang dasarnya sama pernah juga diajukan kembali oleh Zen
Buddhis Amerika Alan Watts, yang menyamakan sebab dan akibat dengan kucing
berjalan maju mundur dan melewati celah sempit di pagar. Jika kita melihat
melalui celah dari sisi lain, kita harus melihat kepala kucing dan kemudian
ekor, yang tidak berarti bahwa kepala kucing itulah yang menyebabkan ekor.
Beberapa filsuf memukul balik. Ibn Rusyd
(di Eropa dikenal Averroes) menulis balasan untuk Ghazali berjudul
Ketidaklogisan dari Ketidaklogisan (Tahafut al-Tahafut), tetapi itu tidak
banyak gunanya, karena Ghazali juga yang menang.
Ghazali meraih penghargaan luar biasa
untuk karyanya. Ia diangkat menjadi kepala Universitas Nizamiyah yang
prestisius di Baghdad. Kaum mapan ortodoks mengakuinya sebagai otoritas
keagamaan terkemuka zaman itu. Akan tetapi Ghazali mempunyai masalah, dia
adalah manusia relegius yang autentik, dan entah bagaimana, di tengan status
pujian itu , dia tahu tidak memiliki harta sesungguhnya. Dia percaya pada
wahyu, dia menghormati Nabi dan Kitab, dia setia pada syariah, tetapi tidak
merasakan kehadiran Allah secara jelas, ketidakpuasan seperti ini lah yang
melahirkan tasawuf. Ghazali tiba-tiba mengalami krisis rohani, mengundurkan
diri dari semua jabatannya, membagikan semua harta miliknya, meninggalkan semua
teman-temannya, dan pergi ke pengasingan.
Ketika keluar dari sana beberapa bulan
kemudian, dia menyatakan bahwa para ulama benar, tetapi para sufi lebih benar
lagi. Hukum adalah hukum dan Anda harus mengikutinya, tetapi tidak bisa
mencapai Allah dengan mempelajari kitab dan beramal baik semata. Anda harus
membuka hati, dan hanya para sufi yang tau membuka hati.
Ghazali menulis dua buku penting lagi,
Kimia Kebahagian (Kimiyyat al-Sa’adat) dan Kebangkitan Ilmu Agama (Ihya
‘Ulumiddin). Dalam kedua buku itu dia menempatkan perpaduan antara teologi
ortodoks dan tasawuf dengan menjelaskan bagaimana syariah cocok dengan tarekat,
metode sufi untuk menyatu dengan Allah. Dia menciptakan sebua tempat mistisisme
dalam kerangka Islam ortodoks dan dengan demikian membuat tasawuf menjadi
terhormat.
Bab 3 (tokoh pada masa dinasti abbasiyah)
Dinasti Abbasiyah merupakan
salah satu dinasti Islam yang sangat peduli dalam upaya pengembangan ilmu
pengetahuan. Upaya ini mendapat tanggapan yang sangat baik dari para ilmuwan.
Sebab pemerintahan dinasti abbasiyah telah menyiapkan segalanya untuk
kepentingan tersebut. Diantara fasilitas yang diberikan adalah pembangunan
pusat-pusat riset dan terjemah seperti baitul hikmah, majelis munadzarah dan
pusat-pusat study lainnya.
Bidang-bidang
ilmu pengetahuan umum yang berkembang antara lain:
a. Filsafat
Proses
penerjemahan yang dilakukan umat Islam pada masa dinasti bani abbasiyah
mengalami kemajuan cukup besar. Para
penerjemah tidak hanya menerjemahkan ilmu pengetahuan dan peradaban
bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Persia, Syiuria tetapi juga mencoba
mentransfernya ke dalam bentuk pemikiran. Diantara tokoh yang member andil
dalam perkembangan ilmu dan filsafat Islam adalah: Al-Kindi, Abu Nasr
al-Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
b. Ilmu Kalam
Menurut A. Hasimy lahirnya ilmu kalam karena dua factor: pertama, untuk
membela Islam dengan bersenjatakan filsafat. Kedua, karena semua masalah
termasuk masalah agama telah berkisar dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu.
Diantara tokoh ilmu kalam yaitu: wasil bin Atha’, Baqilani, Asy’ary, Ghazali,
Sajastani dan lain-lain.
c. Ilmu Kedokteran
Ilmu kedokteran merupakan salah satu
ilmu yang mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Bani Abbasiyah
pada masa itu telan didirikan apotek pertama di dunia, dan juga telah didirikan
sekolah farmasi. Tokoh-tokoh Islam
yang terkenal dalam dunia kedokteran antara lain Al-Razi dan Ibnu Sina.
d. Ilmu Kimia
Ilmu kimia
juga termasuk salah satu ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum muslimin.
Dalam bidang ini mereka memperkenalkan eksperimen obyektif. Hal ini merupakan
suatu perbaikan yang tegas dari cara spekulasi yang ragu-ragu dari Yunani.
Mereka melakukan pemeriksaan dari gejala-gejala dan mengumpulkan
kenyataan-kenyataan untuk membuat hipotesa dan untuk mencari
kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar berdasarkan ilmu pengetahuan diantara
tokoh kimia yaitu: Jabir bin Hayyan.
e. Ilmu Hisab
Diantara ilmu yang dikembangkan pada masa pemerintahan abbasiyah adalah
ilmu hisab atau matematika. Ilmu ini berkembang karena kebutuhand asar
pemerintahan untuk menentukan waktu yang tepat. Dalam setiap pembangunan semua
sudut harus dihitung denga tepat, supaya tidak terdapat kesalahan dalam
pembangunan gedung-gedung dan sebagainya. Tokohnya adalah Muhammad bin
Musa al-Khawarizmi.
f. Sejarah
Pada masa ini sejarah masih terfokus pada tokoh atau peristiwa tertentu,
misalnya sejarah hidup nabi Muhammad. Ilmuwan dalam bidang ini adalah Muhammad
bin Sa’ad, Muhammad bin Ishaq
g. Ilmu Bumi
Ahli ilmu bumi pertama adalah Hisyam
al-Kalbi, yang terkenal pada abad ke-9 M, khususnya dalam studynya mengenai
bidang kawasan arab.
h. Astronomi
Tokoh astronomi Islam pertama
adalah Muhammad al-fazani dan dikenal sebagai pembuat astrolob atau alat yang
pergunakan untuk mempelajari ilmu perbintangan pertama di kalangan muslim.
Selain al-Fazani banyak ahli astronomi yang bermunculan diantaranya adalah
muhammad bin Musa al-Khawarizmi al-Farghani al-Bathiani, al-biruni, Abdurrahman
al-Sufi.
Selain ilmu pengetahuan umum dinasti abbasiyah juga memperhatikan
pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan antara lain:
a. Ilmu Hadis
Diantara tokoh yang terkenal di
bidang ini adalah imam bukhari, hasil karyanya yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih
al-Bukhari. Imam muslim hasil karyanya yaitukitab al-Jami’ al-shahih al-muslim,
ibnu majjah, abu daud, at-tirmidzi dan al-nasa’i.
b. Ilmu Tafsir
Terdapat dua cara yang ditempuh oleh
para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, metode tafsir bil ma’tsur yaitu metode
penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara member penafsiran al-Qur’an
dengan hadits dan penjelasan para sahabat. Kedua, metode tafsir bi al-ra’yi
yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak dari pada
hadits. Diantara tokoh-tokoh mufassir adalah imam al-Thabary, al-sud’a
muqatil bin Sulaiman.
c. Ilmu Fiqih
Dalam bidang fiqih para fuqaha’ yang
ada pada masa bani abbasiyah mampu menyusun kitab-kitab fiqih terkenal hingga
saat ini misalnya, imam Abu Hanifah menyusun kitab musnad al-Imam al-a’dzam
atau fiqih al-akbar, imam malik menyusun kitab al-muwatha’, imam syafi’I
menyusun kitab al-Umm dan fiqih al-akbar fi al tauhid, imam ibnu hambal
menyusun kitab al musnad ahmad bin hambal.
d. Ilmu Tasawuf
Kecenderungan pemikiran yang bersifat filosofi menimbulkan gejolak pemikiran
diantara umat islam, sehingga banyak diantara para pemikir muslim mencoba
mencari bentuk gerakan. lain seperti tasawuf. Tokoh sufi yang terkenal yaitu
Imam al-Ghazali diantara karyanya dalam ilmu tasawuf adalah ihya ulum al-din.
Bab 4 (Kesimpulan+Saran)
A. Kesimpulan
Ø Dinasti abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H –
656 H.
Ø Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang
berkembang pada masa dinasti abbasiyah yaitu filsafat, ilmu kalam, ilmu
kedokteran, ilmu kimia, ilmu hisab, sejarah, ilmu bumi dan astronom.
Ø Bidang-bidang ilmu pengetahuan keagamaan
berkembang pada masa ini yaitu: ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih, tasawuf.
B.
Saran
Dengan selesainya
makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut
andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam
penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik
yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar