Powered By Blogger

Rabu, 18 April 2012

makalah Sejarah Abbasiyah


 Sej
arah di masa dinasti abbasiyah
 
Disusun Oleh                : Rasyid Abdullah                                           NIS                                : 101107016                                        Guru                        : Syarief Hidayatullah
                       

SMPIT INSAN RABBANI Bekasi Barat                              Tahun Ajaran 2012M/2013M
Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah yang masih memberikan kesehatan dan kesempatannya kepada kita semua, terutama kepada penulis. Sehingga penulis dapat menyelesaikan masalah ini.
Berikut ini, penulis persembahkan sebuah makalah (karya tulis) yang berjudul “PERJALANAN DAKWAH RASUL DI MEKKAH”. Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua, terutama bagi penulis sendiri.
Kepada pembaca yang budiman, jika terdapat kekurangan atau kekeliruan
dalam makalah ini, penulis mohon maaf, karna penulis sendiri dalam tahap belajar.
Dengan demikian, tak lupa penulis ucapkan terimakasih, kepada para
pembaca.
Semoga Allah memberkahi makalah ini sehingga benar-benar bermanfaat.















                                                                                                                        Bekasi, April 2012

                                                                                                                          Rasyid Abdullah
Daftar Isi
Cover ………………………………………………………………………………             1    Kata Pengantar …………………………………………………………………….               2       Daftar Isi …………………………………………………………………………..                  3           Pendahuluan ……………………………………………………………………….                       4

Bab 1               | Sejarah Bani abbasiyah …………………………………………..             5                                                              A. KekhalifahanAbbasiyah …………………...................................             5 B. Masa keemasan Bani Abbasiyah. ……………………………….                5                    C. Pengaruh Mamluk ……………………………………………….           11                    D. Pengaruh Bani Buwaih …………………………………………                    11                     E. Pengaruh Bani Seljuk ……………………………………………    12                   F. Kemunduran Bani Abbasiyah …………………………………...     12
Bab 2               | Ilmu Pengetahuan Pada Masa abbasiyah ………………………….            13
Bab 3               | Tokoh Pada Masa Dinasti Abbasiyah ……………………………..            17
Bab 4               | Kesimpulan+Saran ………………………………………………...            20











Pendahuluan
Pada awalnya Muhammad bin Ali, cicit dari Abbas menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada keluarga Bani Hasyim di Parsi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selanjutnya pada masa pemerintahan Khalifah Marwan II, pertentangan ini semakin memuncak dan akhirnya pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah berhasil meruntuhkan Daulah Umayyah dan kemudian dilantik sebagai khalifah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaan kekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gaya Islam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orang Turki (dan kemudian diikuti oleh Mamluk di Mesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyah mengaku dari keturunan anak perempuannya Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerah Afrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasai Maroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun 1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim di Spanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031.


















Bab 1  (Sejarah Bani abbasiyah)                                    
A. Kekhalifahan Abbasiyah
Kekhalifahan Abbasiyah (Arab: الخلافة العباسية, al-khilāfah al-‘abbāsīyyah) atau Bani Abbasiyah (Arab: العباسيون, al-‘abbāsīyyūn) adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad.
Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang.


B.  Masa keemasan Bani Abbasiyah.
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).


Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
  1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
  2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
  3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
  5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Selanjutnya digantikan oleh Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M), yang keras menghadapi lawan-lawannya terutama dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah. Untuk memperkuat kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir dibunuh karena tidak bersedia membaiatnya, al-Manshur memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani melakukannya, dan kemudian menghukum mati Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 755 M, karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya.
Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya, di antaranya dengan membuat semacam lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator dari kementrian yang ada, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di antara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosphorus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama gencatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oxus dan India.
Pada masa al-Manshur ini, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata:
Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)
Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur, dan belakangan gelar tahta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas as-Saffah dan al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun Ar-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Watsiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Ar-Rasyid Rahimahullah (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan negara banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, dan mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Al-Ma'mun, pengganti Harun Ar-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu filsafat. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli (wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah). Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.



Al-Mu'tasim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindiq di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.
  1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab Islam. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab Islam. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
  2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
  3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:
  1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
  2. Tingkat pendalaman, dimana para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.







Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:
  1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
  2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun Ar-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat memengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.
Imam-imam madzhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun Ar-Rasyid. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik Rahimahullah (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i Rahimahullah (767-820 M), dan Imam Ahmad ibn Hanbal Rahimahullah (780-855 M) yang mengembalikan sistem madzhab dan pendapat akal semata kepada hadits Nabi serta memerintahkan para muridnya untuk berpegang kepada hadits Nabi serta pemahaman para sahabat Nabi. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat orang-orang non-Arab. Disamping empat pendiri madzhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran sesat yang sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murji'ah dan Mu'tazilah pun ada. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru mereka rumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran filsafat dan rasionalisme dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena Al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Farghani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama ar-Razi dan Ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibnu Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitsami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata aljabar berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat, yang terkenal di antaranya ialah asy-Syifa'. Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme. Pada masa kekhalifahan ini, dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran di bidang ilmu pengetahuan. Salah satu inovasi besar pada masa ini adalah diterjemahkannya karya-karya di bidang pengetahuan, sastra, dan filosofi dari Yunani, Persia, dan Hindustan.
Banyak golongan pemikir lahir zaman ini, banyak di antara mereka bukan Islam dan bukan Arab Muslim. Mereka ini memainkan peranan yang penting dalam menterjemahkan dan mengembangkan karya Kesusasteraan Yunani dan Hindu, dan ilmu zaman pra-Islam kepada masyarakat Kristen Eropa. Sumbangan mereka ini menyebabkan seorang ahli filsafat Yunani yaitu Aristoteles terkenal di Eropa. Tambahan pula, pada zaman ini menyaksikan penemuan ilmu geografi, matematika, dan astronomi seperti Euclid dan Claudius Ptolemy. Ilmu-ilmu ini kemudiannya diperbaiki lagi oleh beberapa tokoh Islam seperti Al-Biruni dan sebagainya.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama, namun setelah periode ini berakhir, peradaban Islam juga mengalami masa kemunduran. Wallahul Musta’an.
C. Pengaruh Mamluk
Kekhalifahan Abbasiyah adalah yang pertama kali mengorganisasikan penggunaan tentara-tentara budak yang disebut Mamluk pada abad ke-9. Dibentuk oleh Al-Ma'mun, tentara-tentara budak ini didominasi oleh bangsa Turki tetapi juga banyak diisi oleh bangsa Berber dari Afrika Utara dan Slav dari Eropa Timur. Ini adalah suatu inovasi sebab sebelumnya yang digunakan adalah tentara bayaran dari Turki.
    Bagaimanapun tentara Mamluk membantu sekaligus menyulitkan kekhalifahan Abbasiyah. karena berbagai kondisi yang ada di umat muslim saat itu pada akhirnya kekhalifahan ini hanya menjadi simbol dan bahkan tentara Mamluk ini, yang kemudian dikenal dengan Bani Mamalik berhasil berkuasa, yang pada mulanya mengambil inisiatif merebut kekuasaan kerajaan Ayyubiyyah yang pada masa itu merupakan kepanjangan tangan dari khilafah Bani Abbas, hal ini disebabkan karena para penguasa Ayyubiyyah waktu itu kurang tegas dalam memimpin kerajaan. Bani Mamalik ini mendirikan kesultanan sendiri di Mesir dan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Cairo setelah berbagai serangan dari tentara tartar dan kehancuran Baghdad sendiri setelah serangan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Walaupun berkuasa Bani Mamalik tetap menyatakan diri berada di bawah kekuasaan (simbolik) kekhalifahan, dimana khalifah Abbasiyyah tetap sebagai kepala negara.

D. Pengaruh Bani Buwaih
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, dengan membiarkan jabatan tetap dipegang bani Abbas, karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi, sedangkan kekusaan dapat didirikan di pusat maupun daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Di antara faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda dengan yang terjadi sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan sering terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Di tangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), daulah Abbasiyah berada di bawah pengaruh kekuasaan Bani Buwaih yang berpaham Syi'ah.



E. Pengaruh Bani Seljuk
Setelah jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Bani Seljuk atau Salajiqah Al-Kubro (Seljuk Agung), posisi dan kedudukan khalifah Abbasiyah sedikit lebih baik, paling tidak kewibawaannya dalam bidang agama dikembalikan bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan manhaj Sunni yang dianut oleh mereka.
F. Kemunduran
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
  1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
  2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
  3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Bab 2     (Ilmu Pengetahuan Pada Masa abbasiyah)
                       
Pada masa kejayaan Islam ilmu pengetahuan dan teknologi sudah hidup berdampingan, inilah yang membuat begitu maju daripada bangsa barat pada saat itu yang sangat anti terhadap perkembangan Ilmu pengetahuan, sehingga pada saat itu disebut sebagai jaman kegelapan oleh orang-orang Eropa. Pada saat itu filusuf atau kelompok pemikir sangat berkembang yang ini lah mendorong perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini berkembang karena pada saat itu kekuasaana islam sangat luas sehingga banyak pemikir-pemikiran dan ide-ide dari bangsa lain termasuk orang Hindu dari India, Budha dari Asia Tengah, Persia dan Yunani. Roma nyaris mati pada saat itu, dan Konstatintinopel telah berubah menjadi gurun intelektual yang biasa-biasa saja, sehinga pemikir paling orisinal yang masih menulis dalam bahasa Yunani berkerumun di Alexandria, yagn telah jatuh ke tangan Islam. Alexandria memiliki perpustakaan yang hebat dan berbagai akedemi, menjadikannya sebagai ibukota intelektual dunia GrekoRomawi. Di Alexandria, umat Islam menemukan karya-karya Plotinus, seorang filusuf yang pernah mengatakan bahwa segala sesuatu di alama semesta ini saling terhubung dari sebuah organisme tunggal, dan semuanya menyatu ke dalam Satu yang mistis, yang darinya segala sesuatu berasal dan yang kepadanya segala sesuatu kembali.
Dalam konsep tentang yang Satu ini, kaum muslim menemukan gema yang mendebarkan bagi penekanan apokaliptik Nabi Muhammad tentang keesaan Allah (tauhid). Terlebih lagi, ketika umat Islam meninjau pemikiran Plotinus, nemukan bahwa dia telah membangun sistem dengan logika yang ketat dari sejumlah kecil prinsip, sehingga membangkitkan harapan bahwa wahyu Islam dapat dibuktikan dengan logika. Eksplorasi lebih lanjut mengungkapkan bahwa Plotinus dan rekan-rekannya hanyalah eksponen terkakhir dari garis pemikiran yang bermula dari filusuf Athena yang jauh lebih besar ribuan tahun silam bernama Plato. Dan dari Plato, kamu muslim selanjutnya nemukan seluruh perbendaharaan pemikiran Yunani, dari masa pra-Sokrates hingga Aristoteles dan seterusnya.
                    Bangsawan Bagi Abbasiyah pada saat itu menaruh minat besar atas semua ide ini. Siapa pun yang bisa menerjemahkan sebuah buku dari bahasa Yunani, Sangsekerta, Cina dan Persia ke dalam bahasa Arab bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Penerjemah professional berbondong-bondong ke Bahgdad. Mereka mengisi seluruh perpustakaan di ibukota dan kota-kota besar lainnya dengan teks klasik yang telah diterjamahkan dari bahasa lain.
                    Kaum muslim adalah intelektual pertama yang melakukan perbandingan antara, matematika Yunani dan India, atau kedokteran Yunani dan India, atau kosmologi Persia dan Cina, atau metafisika dari berbagai kebudayaan. Mereka mulai menyelidiki bagaimana ide-ide kuno ini cocok dengan satu sama lain dan dengan wahyu lslam, bagaimana spritualitas terkait dengan nalar, dan bagaimana langit dan bumi ditarik dalam ke dalam satu skema yang menjelaskan seluruh alam semesta.
Plato telah menggambarkan dunia material sebagai maya (ilusi) dari dunia “nyata” yang terdiri atas “bentuk-bentuk” yang tak berubah dan kekal, dengan demikian, setiap kursi sebenarnya tak lebih dari salinan yang kurang sempurna dari kursi “ideal” yang ada hanya di alam universal. Mengikuti Plato, filusuf muslim menyatakan bahwa setiap manusia adalaha campuran nyata dan ilusi. Sebelum kelahiran, jelas jiwa tinggal di wilayah universal, dalam kehidupan jiwa menjadi berkaitan dengan tubuh yang terdiri dari materi, dan pada saat kematian keduanya terpisah, tubuh kembali ke dunia semua materi sementara jiwa kembali kepada Allah.


Meski sangat setia pada Plato, filsuf muslim juga memilki kekaguman besar pada Aristoteles, pada logikanya, teknik-teknik klasifikasinya, dan pemahamannya yang kuat tentang pertikularitas. Mengikuti Aristoteles, filusuf muslim mengategorikan dan mengklarifikasi dengan logika obsesif. Filusuf Al-Kindi menggambarkan alam semesta material menurut lima prinsip pengatur: materi, bentuk, gerak, waktu dan ruang. Dia menganalisis ke sub kategori, membagi gerak, misalnya, ke dalam enama jenis: lahir, rusak, bertambah, berkurang, berubah sifat, dan berubah posisi. Dia terus melanjutkan ini, bertekah membelah semua realitas menjadi bagian-bagian yang terpisah yang dapat dipahami akal. Filusuf Al-Faribi secara khusus merekomendasikan agar para murid memulai dengan mempelajari alam, beralih ke studi tentang logika, kemudian akhirnya berlanjut ke yang paling abstrak dari semuat displin ilmu, matematika.
               Orang Yunani menemukan geometri, ahli matematika India muncul dengan ide cemerlang memperlakukan nol sebagai angka, orang Babel menemukan gagasan tentang nilai tempat, dan umat Islam mensistematisasi semua gagasan ini, menambahkan beberapa gagasan dari mereka sendiri, untuk menciptakan aljabar dan bahkan meletekkan dasar-dasar matematika modern.
               Di sisi lain, minat mereka mengarahkan para filusuf kepada hal-hal praktis. Dengan melakukan kompilasi, katalogisasi, dan refrensi silang penemuan-penemuan medis dari berbagai negeri, pemikir seperti Ibnu Sina mencapai pemahaman yang hampir modern tentang penyakit dan perawatan medis serta anatomi, sirkulasi darah sudah mereka ketehui, demikian pula fungsi hati dan sebagian bsar organ utama lainnya. Dunia muslim tak lama kemudian memiliki rumah sakit terbaik di dunia yang perna ada pada saat itu atau untuk selama berabad-abad yang akan dating, Baghdad sendiri memiliki ratusan fasilitas semacam ini. Para filosof muslim era Abbasiyah ini juga meletakkan dasar-dasar kimia sebagai suatu displin dan menulis risalah-risalah tentang geologi, optik, botani, dan hampir semua bidang studi yang kini dikenal sebagai sains. Mereka tidak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Seperti di Barat, dimana ilmu pengetahuan sejak lama disebut sebagai filsafat alam, mereka melihat tidak ada perlunya mengkelompokkan beberapa spekulasi mereka ke dalam kategori yang berbeda dan menyebutnya dengan nama yang baru, namun sejak awal mereka mengakui kuantifikasi sebagai alat untuk mempelajari alam, yang merupakan salah satu pilar utama ilmu pengetahuan sebagai sebuah bidang yang mandiri. Mereka juga mengandalkan pengamatan untuk dasar teori-teori, pilar kedua ilmu pengetahuan. Mereka tidak pernah mengartikulasikan metode ilmiah gagasan tentang pembangunan pengetahuan secara bertahap dengan merumuskan hipotesis dan kemudian merancang percobaan untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan. Andai mereka telah menjebati celah itu, ilmu pengetahuan seperti yang kita ketahui mungkin telah berkecambah di dunia muslim zaman Abbasiyah, tujuh abad sebelum kelahirannya di Eropa Barat.
Tapi itu tidak terjadi, karena dua alasan, yang salah satunya melibatkan interkasi antara sains dan teologi. Pada tahap awalnya, ilmu pengetahuan secara inheren kesulitan untuk memisahkan diri dari teologi. Masing-masing tampakna memiliki implikasi bagi yang lain, setidaknya bagi para pratiksinya. Ketika Galileo mempromosikan teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, otoritas agama mengadilinya karena menganggap bid’ah. Bahkan saat ini di Barat, kaum konservatif Kristen mempertentangkan narasi alkitabiah tentang penciptaan dengan teori evolusi, seolah-olah keduanya merupakan penjelasan yang saling bersaing tentang teka-teki yang sama. Sains menantang agama kernta bersikeras pada kecukupan metodenya untuk mencari kebenaran, eksperimentasi dan nalar tanpa bantuan wahyu. Di Barat, bagi kebanyakan orang, kedua bidang itu telah mencapai suatu kompromi dengan menyetujui untuk membedakan bidang penyelidikan mereka, prinsi alam dalah milik ilmu pengetahuan, sedangkan moral dan etika merupakan wilayah agama dan filsafat. Di Irak pada abak ke-9 dan ke-10, tidak terdapat sains murni yang bisa dipisahkan dari agama. Para filusuf melahirkannya tanpa cukup menyadarinya. Mereka menganggap agama sebagai bidang penlitian mereka dan teologi sebagai kekhususan intelektual mereka, mereka sedang dalam pencarian untuk memahami hakikat terdalam realitas. Sehingga, apapun yang mereka temukan tentang botani, optik atau penyakit adalah produk sampingan dari pencarian inti. Sehingga mereka tidak ragu-ragu untuk mengajukan pertanyaan “jika seseorang melakukan dosa besar, apakah disebut nonmuslim atau hanya seorang muslim yang buruk?”. Yang menurut orang modern itu merupakan diluar dari kewenangan seorang ahli kimia atau dokter. Pada dunia muslim, sebagai sandaran hokum, para ulama membagi dunia antara masyarakat orang beriman dan tidak beriman, karenanya penting untuk mengetahui apakah orang tertentu berada pada yang ini atau itu. Para filusuf yang mengangani pertanyaan ini mengtakan umat Islam yang berdosa besar mungkin masuk termasuk golongan ketiga. Dari konsep ini berkembang sebuah mazhab teologi sendiri yang disebut Muktazilah, bahasa Arab untuk “orang yang memisahkan diri”, disebut demikan karena mereak telah memisahkan diri dari arus utama keagamaan.  Seiring dengan waktu para teolog ini merumuskan seperangkat ajaran agama yang menarik bagi para filusuf. Filusuf ilmuwan umumnya mengafiliasi diri mereka dengan mazhab Muktazilah, tidak diragukan lagi karena itu memvalidasi cara penyelidikan mereka. Beberapa di antara filusuf ini bahkan meletakan nalar lebih tinggi daripada wahyu. Filusuf Abu Bakr Al-Razi secara terang-terangan menyatakan bahwa mukjizat yang diberikan nabi-nabi pada masa lalu itu hanya legenda dan bahwa surga dan neraka adalah kategori-kategori mental, bukan realitas fisik. Hal ini lah menempatkan para ulama dan filusuf saling berselisih. Karena ajaran para filusuf secara implisit membuat ajaran para ulama tidak relevan. Ulama berada dalam posisi yang baik untuk melawan tantangan seperti ini. Mereka mengendalikan hukum, pendidikan kaum muda, lembaga-lembaga sosial, dan yang paling penting mereka memiliki kesetiaan massa. Tapi Muktazilah juag punya kelebihan, dukungan Istana, keluarga kerjaan, para bangsawan dan pejabat pemerintah. Bahkan khalifah Abbasiyah ketujuh mejadikan teologi Muktazilah sebagai doktrin resmi negeri itu. Para hakim harus melewati tes filsafat dan calon administrator harus bersumpah setia kepada nalar, untuk memenuhi syarat sebuah jabatan.
Lalu, raksasa intelektual sejarah dunia lahir, dari orang tua berbahasa Persia di Provinsi Khorasan. Namanya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.  Pada awal usia dua puluhan, Ghazali telah memperoleh pengakuan sebagai ulama terkemuka zamannya. Pada masa hidupnya, beberapa ulama telah mengembangkan teologi untuk bersaing dengan kaum Muktazilah, yang disebut Mazha Asy’ariyah. Bersikeras bahwa iman tidak akan bisa didasarkan pada akal, hanya pada wahyu. Fungsi akal hanya mendukung wahyu. Para teolog Asy’ariyah terus-menerus menentang pemuka Muktazilah dalam debat public, tetapi Muktazilah tahu trik orang Yunani memenangkan argument, seperti logika dan retorika, sehingga mereka terus saja membuat Asy’ariyah tampak bingung. Ghazali datang untuk menyelamatkan meraka. Cara untuk mengalahkan para filusuf, ia menyimpulkan, adalah dengan bergabung bersama mereka lalu mengunakan trik-trik mereka untuk melawan mereka. Dia terjun ke dalam studi tentang zaman antik, menguasai logika, menghirup risalah-risalah bahasa Yunani. Kemudia menulis buku tentang filsafat Yunani yang bernama Maqashid al-Falashifah (Maksud Para Filsuf). Buku itu terutama tentang Aristoteles. Dalam kata pengantar, dia mengatakan orang Yunani itu keliru dan dia akan membuktikan itu, tetapi pertama-tama dia menjelaskan apa filsafat Yunani itu sebenarnya gara pembaca akan tahu apa yang ia sangkal ketika membaca buku selanjutnya. Pemikiran Ghazali yang terbuka memang menimbulkan kekaguman orang. Dia tidak membuat boneka jerami untuk dirobohkannya sendiri. Urainnya tentang Aristoteles begitu jernih, sangat terpelajar, bahkan ahli Aristoteles yang membaca bukunya akan lebih mengerti Aristoteles.
            Buku Ghazali sampai ke Andalusia darn dari sana ke Eropa, disana buku itu memukau beberapa orang yang bisa membacanya. Orang Eropa Barat telah cukup banyak melupakan pemikiran Yunani klasik sejak kejatuhan Roma. Bagi kebanyakan orang, lewat buku inilah mereka pertama kali mengenal Aristoteles. Namun, pada suatu waktu dalam perjalanannya, kata pengantar Ghazali dilepas dari buku ini, sehingga orang Eropa tidak tahu bahwa Ghazali menentang Aristoteles. Sebagian bahkan berpikir dia adalah Aristoteles, yang menulis dengan nama samaran. Singkatnya, Maksud para Filsuf begitu mengesankan bagi orang Eropa sehingga bagi mereka Aristoteles meraih aura otoritas yang di hormati, dan para filsuf Kristen terkemudian mencurahkan banyak energi untuk mendamaikan gereja dengan pemikiran Aristoteles.
Ghazali telah menulis lanjutan dari Maksud para Filsuf, buku penting yang kedua yang berjudul Tahafut al-Falasifah (Ketidaklogisan para Filsuf). Pada kitab tersebut, Ghzali mengindetifikasi dua puluh premis yang menjadi sandaran filsafat Yunani, kemudian menggunakan logika silogisme untuk membongkar masing-masingnya. Salah satu serangannya terhadap gagasan tentang hubungan sebab akibat antara fenomena material. Hubungan seperti itu tidak pernah ada, menurut Ghazali, kita berpikir api menyebabkan kapas terbakar, karena api selalu ada saat kapas terbakar. Kita keliru menyamakan kesinambungan sebagai kausalitas. Sebeneranya, kata Ghazali, Allah lah yang menyebabkan dan satu-satunya dari segala sesuatu. Api kebetulan berada disana. Jika kami membuat pemikirin Ghazali terlihat konyol pada bahasan ini, itu hanya kami tidak cukup berpikiran terbuka seperti dirinya terhadap Aristoteles. Argumen yang dasarnya sama pernah juga diajukan kembali oleh Zen Buddhis Amerika Alan Watts, yang menyamakan sebab dan akibat dengan kucing berjalan maju mundur dan melewati celah sempit di pagar. Jika kita melihat melalui celah dari sisi lain, kita harus melihat kepala kucing dan kemudian ekor, yang tidak berarti bahwa kepala kucing itulah yang menyebabkan ekor.
Beberapa filsuf memukul balik. Ibn Rusyd (di Eropa dikenal Averroes) menulis balasan untuk Ghazali berjudul Ketidaklogisan dari Ketidaklogisan (Tahafut al-Tahafut), tetapi itu tidak banyak gunanya, karena Ghazali juga yang menang.
Ghazali meraih penghargaan luar biasa untuk karyanya. Ia diangkat menjadi kepala Universitas Nizamiyah yang prestisius di Baghdad. Kaum mapan ortodoks mengakuinya sebagai otoritas keagamaan terkemuka zaman itu. Akan tetapi Ghazali mempunyai masalah, dia adalah manusia relegius yang autentik, dan entah bagaimana, di tengan status pujian itu , dia tahu tidak memiliki harta sesungguhnya. Dia percaya pada wahyu, dia menghormati Nabi dan Kitab, dia setia pada syariah, tetapi tidak merasakan kehadiran Allah secara jelas, ketidakpuasan seperti ini lah yang melahirkan tasawuf. Ghazali tiba-tiba mengalami krisis rohani, mengundurkan diri dari semua jabatannya, membagikan semua harta miliknya, meninggalkan semua teman-temannya, dan pergi ke pengasingan.

Ketika keluar dari sana beberapa bulan kemudian, dia menyatakan bahwa para ulama benar, tetapi para sufi lebih benar lagi. Hukum adalah hukum dan Anda harus mengikutinya, tetapi tidak bisa mencapai Allah dengan mempelajari kitab dan beramal baik semata. Anda harus membuka hati, dan hanya para sufi yang tau membuka hati.
Ghazali menulis dua buku penting lagi, Kimia Kebahagian (Kimiyyat al-Sa’adat) dan Kebangkitan Ilmu Agama (Ihya ‘Ulumiddin). Dalam kedua buku itu dia menempatkan perpaduan antara teologi ortodoks dan tasawuf dengan menjelaskan bagaimana syariah cocok dengan tarekat, metode sufi untuk menyatu dengan Allah. Dia menciptakan sebua tempat mistisisme dalam kerangka Islam ortodoks dan dengan demikian membuat tasawuf menjadi terhormat.
Bab 3 (tokoh pada masa dinasti abbasiyah)
Dinasti Abbasiyah merupakan salah satu dinasti Islam yang sangat peduli dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan. Upaya ini mendapat tanggapan yang sangat baik dari para ilmuwan. Sebab pemerintahan dinasti abbasiyah telah menyiapkan segalanya untuk kepentingan tersebut. Diantara fasilitas yang diberikan adalah pembangunan pusat-pusat riset dan terjemah seperti baitul hikmah, majelis munadzarah dan pusat-pusat study lainnya.
Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang antara lain:
a. Filsafat
Proses penerjemahan yang dilakukan umat Islam pada masa dinasti bani abbasiyah
mengalami kemajuan cukup besar. Para penerjemah tidak hanya menerjemahkan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa Yunani, Romawi, Persia, Syiuria tetapi juga mencoba mentransfernya ke dalam bentuk pemikiran. Diantara tokoh yang member andil dalam perkembangan ilmu dan filsafat Islam adalah: Al-Kindi, Abu Nasr al-Faraby, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
b. Ilmu Kalam
Menurut A. Hasimy lahirnya ilmu kalam karena dua factor: pertama, untuk membela Islam dengan bersenjatakan filsafat. Kedua, karena semua masalah termasuk masalah agama telah berkisar dari pola rasa kepada pola akal dan ilmu. Diantara tokoh ilmu kalam yaitu: wasil bin Atha’, Baqilani, Asy’ary, Ghazali, Sajastani dan lain-lain.
c. Ilmu Kedokteran
Ilmu kedokteran merupakan salah satu ilmu yang mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Bani Abbasiyah pada masa itu telan didirikan apotek pertama di dunia, dan juga telah didirikan sekolah farmasi. Tokoh-tokoh Islam yang terkenal dalam dunia kedokteran antara lain Al-Razi dan Ibnu Sina.
d. Ilmu Kimia
Ilmu kimia juga termasuk salah satu ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum muslimin. Dalam bidang ini mereka memperkenalkan eksperimen obyektif. Hal ini merupakan suatu perbaikan yang tegas dari cara spekulasi yang ragu-ragu dari Yunani. Mereka melakukan pemeriksaan dari gejala-gejala dan mengumpulkan kenyataan-kenyataan untuk membuat hipotesa dan untuk mencari kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar berdasarkan ilmu pengetahuan diantara tokoh kimia yaitu: Jabir bin Hayyan.



e. Ilmu Hisab
Diantara ilmu yang dikembangkan pada masa pemerintahan abbasiyah adalah ilmu hisab atau matematika. Ilmu ini berkembang karena kebutuhand asar pemerintahan untuk menentukan waktu yang tepat. Dalam setiap pembangunan semua sudut harus dihitung denga tepat, supaya tidak terdapat kesalahan dalam pembangunan gedung-gedung dan sebagainya. Tokohnya adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi.
f. Sejarah
Pada masa ini sejarah masih terfokus pada tokoh atau peristiwa tertentu, misalnya sejarah hidup nabi Muhammad. Ilmuwan dalam bidang ini adalah Muhammad bin Sa’ad, Muhammad bin Ishaq
g. Ilmu Bumi
Ahli ilmu bumi pertama adalah Hisyam al-Kalbi, yang terkenal pada abad ke-9 M, khususnya dalam studynya mengenai bidang kawasan arab.
h. Astronomi
Tokoh astronomi Islam pertama adalah Muhammad al-fazani dan dikenal sebagai pembuat astrolob atau alat yang pergunakan untuk mempelajari ilmu perbintangan pertama di kalangan muslim. Selain al-Fazani banyak ahli astronomi yang bermunculan diantaranya adalah muhammad bin Musa al-Khawarizmi al-Farghani al-Bathiani, al-biruni, Abdurrahman al-Sufi.
Selain ilmu pengetahuan umum dinasti abbasiyah juga memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan antara lain:
a. Ilmu Hadis
Diantara tokoh yang terkenal di bidang ini adalah imam bukhari, hasil karyanya yaitu kitab al-Jami’ al-Shahih al-Bukhari. Imam muslim hasil karyanya yaitukitab al-Jami’ al-shahih al-muslim, ibnu majjah, abu daud, at-tirmidzi dan al-nasa’i.
b. Ilmu Tafsir
Terdapat dua cara yang ditempuh oleh para mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Pertama, metode tafsir bil ma’tsur yaitu metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara member penafsiran al-Qur’an dengan hadits dan penjelasan para sahabat. Kedua, metode tafsir bi al-ra’yi yaitu penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak dari pada hadits. Diantara tokoh-tokoh mufassir adalah imam al-Thabary, al-sud’a muqatil bin Sulaiman.


c. Ilmu Fiqih
Dalam bidang fiqih para fuqaha’ yang ada pada masa bani abbasiyah mampu menyusun kitab-kitab fiqih terkenal hingga saat ini misalnya, imam Abu Hanifah menyusun kitab musnad al-Imam al-a’dzam atau fiqih al-akbar, imam malik menyusun kitab al-muwatha’, imam syafi’I menyusun kitab al-Umm dan fiqih al-akbar fi al tauhid, imam ibnu hambal menyusun kitab al musnad ahmad bin hambal.
d. Ilmu Tasawuf
Kecenderungan pemikiran yang bersifat filosofi menimbulkan gejolak pemikiran diantara umat islam, sehingga banyak diantara para pemikir muslim mencoba mencari bentuk gerakan. lain seperti tasawuf. Tokoh sufi yang terkenal yaitu Imam al-Ghazali diantara karyanya dalam ilmu tasawuf adalah ihya ulum al-din.


































Bab 4 (Kesimpulan+Saran)
A. Kesimpulan
Ø Dinasti abbasiyah berkuasa sejak tahun 132 H – 656 H.
Ø Bidang-bidang ilmu pengetahuan umum yang berkembang pada masa dinasti abbasiyah yaitu filsafat, ilmu kalam, ilmu kedokteran, ilmu kimia, ilmu hisab, sejarah, ilmu bumi dan astronom.
Ø Bidang-bidang ilmu pengetahuan keagamaan berkembang pada masa ini yaitu: ilmu hadist, ilmu tafsir, ilmu fiqih, tasawuf.
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut andil dalam penulisan makalah ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar